Sekolah Abi #1: Apresiasi dan Perhatian dari Strawberry Generation —Alhamdulillah akhirnya bisa menulis lagi, dengan kategori baru bertema parenting. Sesungguhnya niat buat kategori ini, selain untuk memudahkan saya dalam mengingat serta persiapan esok, juga semoga memberi manfaat pada pembaca, khususnya calon bapak, abi, ayah/panggilan semacamnya.
Kategori ini saya namakan Sekolah Abi, saya kasih nama itu, karena nantinya saya akan memposting tentang bagaimana sebaiknya bapak bersikap, yang saya ambil dari para tokoh, baik lewat buku atau ceramah.
Semoga bermanfaat. Mari sama-sama belajar. Bismillah.
Tulisan pertama ini muncul saat saya membaca buku Strawberry Generation karya Rhenald Kasali. Di buku ini beliau bercerita tentang fenomena generasi muda yang tampak indah dari jauh, namun rapuh dari dalam. Seperti buah stroberi yang indah dan enak untuk dinikmati, namun mudah busuk.
Di buku ini beliau menggambarkan fenomena generasi muda sekarang. Di mana mereka tidak memiliki daya juang untuk menjalani hidup, disebabkan pendidikan yang salah dari orangtua.
Salah satu contohnya, orangtua, selalu ikut campur membantu dalam keputusan-keputusan si anak. Padahal seharusnya, sejak kecil anak sudah diajarkan untuk pandai mengambil keputusan. Orangtua menyerahkan pendidikan sepenuhnya pada sekolah. Padahal persentase terbesar pendidikan dari keluarga dan lingkungan. Itu dua sampel contoh yang terdapat dalam buku ini.
Lewat membaca ini saya tersadar dan bersyukur, bahwa ternyata orangtua saya tidak begitu. Mereka memberi saya ruang untuk mengambil keputusan, merasakan kegagalan, dan rasanya berjuang.
Hasilnya, sekarang, saya bisa memandang dan memaknai hidup, dan mengerti apa arti dari sebuah perjuangan.
Fenomena dunia game
Salah satu topik menarik yang ada di buku ini, terdapat di halaman 71-75. Beliau menjelaskan tentang ‘Kenapa anak-anak lari ke game.’
Beliau menjelaskan bahwa anak-anak lebih menyukai game, sebab orangtua miskin akan apresiasi dan perhatian.
Berikut gambaran beliau tentang dunia game. Coba renungkan.
“Game memberi anak-anak kita dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia nyata. Dunia game bagi anak-anak kita sangat apresiatif. Ketika anak kita bergabung dalam suatu game, mereka langsung disambut dengan meriah. ‘Selamat datang. Inilah pahlawan yang akan membebaskan bangsa kita dari cengkraman makhluk jahat.’ Begitu sambutnya.’ Lalu anak-anak kita di briefing dengan jelas tentang musuh-musuh yang bakal mereka hadapi. Siapa saja mereka, apa saja kehebatannya, dsb. Untuk menghadapi mereka, anak-anak kita juga dibekali berbagai senjata ampuh dan amunisi lainnya. Pada usia muda itu, mereka diperbolehkan memilih senjata/perlengkapan lain yang sesuai dengan kebutuhan. Perjalanan pun dimulai. Anak-anak mulai beraksi. Setiap berhasil menaklukkan lawan-lawan yang menghadang sepanjang perjalanan, mereka akan dielu-elukan. Bahkan diapresiasi, dengan tambahan senjata/perlengkapan lain. Ketika gagal, anak-anak kita juga tidak dihukum atau dicaci maki. Sebaliknya, malah dihidupkan kembali, disuruh mencoba lagi, coba lagi, dan coba lagi. Sampai berhasil. Lalu ketika anak-anak kita berhasil mengalahkan, apresiasinya sungguh luar biasa. Itulah dunia game anak-anak kita sangat apresiatif (hal 72-74).”
Bagaimana denganmu sebagai orangtua? Berbeda bukan dengan dunia nyata, yang kebanyakan dirasakan oleh anak-anak.
Perbedaan dunia game dan dunia nyata
Di halaman 74 Prof Rhenald menjabarkan perbedaan dunia game dan dunia nyata lebih dalam lagi.
Dunia nyata, instruksi guru satu arah dan sering tidak jelas, ketika anak melaporkan nilai ulangannya jelek, orangtua dan guru sering beraksi berlebihan. Budaya pengajaran kita masih amat gemar menghukum. Orangtua pun gemar menegur, sebagian mungkin marah-marah.
Padahal untuk melaporkan nilai ulangannya yang jelak, anak-anak perlu membangkitkan keberanian. Mereka juga cemas menghadapi orangtuanya. Berbeda bukan dengan dunia game. Tidak mengenal hukuman. Sebaliknya anak-anak ditantang untuk mencoba lagi, lagi, dan lagi, sampai berhasil.
Kemudian jika nilai anak bagus. Sebagian orangtua mungkin memuji, sebagian lainnya mungkin berbicara singkat, “Ehm, bagus.” Namun anak-anak kita jeli, bisa merasakan pujian yang tulus. Lalu, di sekolah mereka juga dikucilkan dengan teman yang lain. Sekali lagi beda bukan dengan dunia game.
Begitulah, sejak kecil kita dibesarkan dan membesarkan anak-anak dalam lingkungan yang miskin apresiasi. Alhasil kita menjadi begitu sulit memuji, tapi sangat mudah mengkritik. Kita paling suka mencari kekurangan orang, tetapi sulit melihat kelebihannya (hal 75).
Bagaimana menurutmu hingga membaca dikalimat ini?
Dari kalimat ini, saya merangkum beberapa poin, yang sebaiknya seorang calon abi harus miliki.
- Memprioritaskan pendidikan keluarga bagi anak sejak kecil, lebih utama daripada pendidikan di sekolah. Alhasil orangtua juga harus menyiapkan kurikulum bagi anak.
- Mengajarkan anak sejak kecil tanggungjawab, berani mengambil keputusan, dan memberi mereka kepercayaan.
- Menanamkan nilai agama sejak kecil. Ini merupakan fondasi utama yang sangat penting. Penanaman ketauhidan pada anak, akan memberikan rasa percaya diri dan keberanian yang luar biasa, sebab anak hanya akan takut pada Allah. Konsep ini juga diajarkan oleh seorang sahabiat nabi yaitu Sofiah RA, kepada anaknya.
- Sejak kecil orangtua belajar untuk selalu memberi apresiasi pada anak secara tulus. Pembicaraan dari hati, akan melahirkan ketulusan.
- Era sekarang dan ke depan tantangannya semakin besar. Maka untuk menjaga agar anak berada di jalan yang lurus, adalah perhatian dan fokus utama orangtua dalam mendidik anak. Jangan sampai, orangtua fokus ke kerja, namun tidak mempedulikan anak! Sebab anak, adalah amanah dan senjata: baik, membawa ke surga, jika buruk ke neraka.
Alhamdullillah, itulah penjabaran tentang pentingnya ‘apresiasi dan perhatian.’ Mari kita siapkan dari sekarang. Semoga kita menjadi abi/seorang bapak yang mengajak anaknya pada jalan yang lurus.
Menarik
jadi yuk di apresiasi/dipuji dengan bijak ya kak
Ah, jadi penasaran dengan buku Rhenald Khasali yang ini. Iyaa, anak-anak sekarang tidak mendapat pendidikan yang baik dari orangtuanya. Orangtua kerap berpikir jika mendidik itu urusan sekolah. Sedihnya, mereka sering tidak sadar kalau mereka yang membentuk kelakuan buruk anaknya. Salam kenal mas.
iya mbak, bukunya membuka fakta2 yang terjadi di tengah2 kita.
hehe begitulah mbak, padahal orangtua pendidikan utama bagi anak
Emang perlu usaha yang tinggi masalah nya kadang anak terbawa pergaulan juga
Masalah pendidikan anak memang bukan perkara yang mudah. Karena setiap anak itu unik dan metode yang sama kadang nggak bisa diterapkan 100% pada semua anak. Masalah perhatian, dan apresiasi menurut saya tetap harus diimbangi dengan warning dan punishment. Intinya adalah keseimbangan dalam mendidik anak akan menjadikan anak… ya lebih seimbang aja gitu hidupnya, wkwkwkw. Salam kenal mas
ya begitulah gan. harus hati2 emang
sip harus seimbang memang, karena segala sesuatu kalau berlebihan itu gak baik. Salam kenal juga mas