Seri #5: “Pergulatan yang Indah” Hikmah Pekan Ke-2 SSG 35 DT, Bandung

Sandi Iswahyudi

ssg santri siap guna daarut tauhiid bandung sandi iswahyudi

Bismillah

Saya menyebutnya pekan kedua ini sebagai “pergulatan yang indah.” Pengerdilan diri yang sok, menjadi nol. Ya, sesungguhnya jika mau sadar, kita ini memang tidak punya kuasa apa-apa.

Semua yang ada dalam diri berada dalam kuasa Allah, Azza wa Jalla. Jika misal saat ini, ada dalam diri saudara perasaan, “Saya bisa ko…” Intinya ada perasaan membanggakan diri, perasaan menafikan Allah dalam melakukan sesuatu, berati saudara harus hati-hati.

Jika tidak, bisa celaka ☹

***

Alhamdulillah hari ini masih bisa dapatkan kesempatan untuk mengabadikan pertemuan kedua mengikuti SSG (Santri Siap Guna) 35 Daarut Tauhiid, Bandung lewat tulisan.

Selain memang ini salah satu komitmen saya sejak awal. Langkah ini cara agar hikmah yang saya dapatkan tidak hilang tertiup angin masa.

Harapannya abadi, hingga bisa dibaca oleh istri dan keluarga saya nanti, insyaa Allah.

Sebagaimana Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Ikatlah ilmu dengan menulis.

Saya sepakat, karena jika tak menulis, ilmu itu akan hilang. Terus setelah menulis, jika ingin bermanfaat, ilmu harus diamalkan.

Siap?

Jadi langkahnya, setelah mendapatkan ilmu, ditulis, diamalkan, dan dibagikan ke yang lain.

Silakan disimak moga manfaat, dan saya sarankan saudara mengikuti SSG DT angkatan selanjutnya ?.

Hikmat pertemuan pekan ke-2 SSG 35 DT

Pertama introspeksi patuh

Hingga pekan kedua ini, pelajaran yang saya ingat adalah tentang kepatuhan santri pada pelatih. Kepatuhan santri dengan pimpinan. Kepatuhan yang dipimpin kepada pemimpin.

Jika kami disuruh posisi posisi duduk siap—duduk dengan posisi badan tegak, tangan mengepal lurus, pandangan mata fokus ke depan, dzikir, dan fokus ikuti intruksi pelatih—kami harus lakukan. Jika tidak, tentu kami akan dapatkan konsekuensi.

Sederhana bukan?

Tidak sesederhana itu, hikmah yang saya dapat, masak sama manusia saja patuhnya seperti ini, apalagi dengan Sang Pencipta?

Iya gak?

Allah memberikan kita nikmat yang begitu luar biasa, walau kita masih banyak dosa padaNya, masih saja diberi nikmat.

Oleh karenanya, tak sepantasnya, patuh pada manusia, sedangkan pada sang Pencipta tidak.

Kedua praktik

Sadar lagi, tertampar lagi. Kalau oleh manusia diperintahkan saya melakukan, sedangkan jika Allah dan RasulNya?

Padahal jelas, semua yang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya pasti penuh hikmah. Tinggal ya, saya mau melakukannya atau tidak.

Semua ada konsekuensi. Jika dalam pelatihan SSG ini, konsekuensinya seperti push up/lainnya. Sedangkan jika melanggar perintahNya, akibatnya bisa celaka di dunia dan akhirat.

Hem…

Harus semakin sadar, tentang hakikat untuk apa hidup di dunia ini. Jika hanya menjadi penonton dan mengikuti arus saja, celakalah saya!

Maka menunjukkan posisi diri di mana, dan melakukan yang diyakini dengan konsisten adalah pilihan terbaik.

Kemudian berkumpul dengan mereka yang sevibrasi, dan terus memohon padaNya agar tetap istiqomah di jalan ini.

Sebagaimana AaGym sampaikan pada santri-santrinya, bahwa sesungguhnya kita ini dalam posisi bahaya, sewaktu-waktu hidayah itu bisa dicabut oleh Allah. Maka kita disuruh untuk membiasakan baca doa, yang Rasulullah sering baca, yaitu:

“Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha membolak-balikkan hati, teguhkan hatiku di atas agamaMu).”

Ketiga sudut pandang

Kenapa mata kita ada dua? Salah satu hikmahnya agar melihat sesuatu tidak hanya dari satu sudut pandang.

Bagi seorang anak, ketika ia diberi hukuman oleh orang tuanya, sebab tidak sholat. Mungkin dia akan mengira orang tuanya jahat. Namun jika sang anak sudah besar, dia akan bersyukur karena orang tua sudah membiasakan dirinya sejak kecil shalat.

Pelatihan ini pun demikian, jika hanya melihatnya dari satu sudut pandang, kemungkinan diri akan berkata, “Kenapa kayak gini? Ko gak kayak gini?” Tidak akan ada yang didapat selain capek dan kekecewaan.

Sedangkan jika mengajak diri untuk melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda, saya akan mendapati ada ragam hikmah ditiap pertemuannya.

Oleh karenanya, selalu lihatlah sesuatu dari sudut pandang yang berbeda!

Keempat, rendahkan

Saya belajar untuk merendahkan standar hidup yang telah menjadi sistem dalam diri. Seperti saya terbiasa makan lama, saat makan pakai tangan jarang menjilati dan bersih tanpa ada nasi sebutir pun.

Di pelatihan ini, standar hidup yang sudah ada, dipaksa untuk diganti menjadi kebiasaan baru yaitu, makan cepat dengan waktu, menjilati tangan setelah selesai, dan tak menyisakan sebutir nasi pun.

Saya pun diajak untuk tidak mengeluh pada kondisi apa pun dalam pelatihan. Jika ada sesuatu yang lebih rendah daripada yang saya rasakan selama ini, maka rumus yang diberikan oleh pelatih adalah HHN (Hadapi, Hayati, Nikmati).

Merendahkan standar hidup ternyata sangatlah penting. Alasannya agar diri ini mudah untuk bersyukur, tidak mencela, dan selalu berprasangka baik padaNya.

Karena di atas langit masih ada langit. Maksudnya, jika misal kondisi kita bisa makan satu hari tiga kali, ada orang yang satu hari makan lebih dari itu/kurang dari itu.

Jadi apa pun kondisi saudara saat ini, bersyukurlah!

Kelima, diam dan tahan mengeluh

Salah satu karakter cowok adalah tak banyak bicara. Jika ada cowok yang banyak bicara itu aneh.

Kenapa? Karena cowok memang fitrahnya membawa banyak beban dalam hidup. Maka diam, adalah salah satu cara menyembunyikan rasa sakit dan lelah yang itu hanya diadukan pada Sang Pencipta.

Dia harus lebih banyak bergerak, memberi contoh, daripada bicara. Sebab karakter banyak bicara dalam keluarga dimiliki oleh istri.

Akan jadi aneh dan tidak saling melengkapi, jika sang istri dan suami suka bicara.

Pelatihan ini, mengajarkan kami menjadi cowok sejati. Tidak banyak bicara, bicara seperlunya, lebih banyak bertindak, tahan terhadap rasa sakit, terbiasa untuk menahan beban, mengambil keputusan, bertanggung jawab, hingga tidak mengeluh.

Ternyata memang nikmat jika menghadapi sesuatu tidak mengeluh. Diri akan beradaptasi dengan sistem yang telah Allah ciptakan, sehingga mampu untuk melaluinya.

Syaratnya, tidak mengeluh!

Keenam, selalu berprasangka baik pada Allah

Allah kasih kita pilihan, berprasangka baik/buruk padaNya. Tidak ada yang berdampak padaNya.

Allah Maha Kuasa dan Maha Perkasa atas segala sesuatu. Dampak berprasangka akan kembali pada masing-masing hamba.

Maka ulama mengajarkan, jika perbuatan kita akan kembali ke kita sendiri. Jika kita berbuat baik akan kembali ke kita. Jika kita berbuat buruk, juga akan kembali ke kita.

Saudara sadar atau tidak itulah sistem yang telah Allah ciptakan.

Oleh karena itu jika sudah sadar seperti ini, tidak ada alasan untuk berprasangka buruk. Pilihan patuh padaNya, adalah keputusan yang tepat.

Sepakat?

Ketujuh, mampu ko sebenarnya

Sebenarnya kita ini mampu ko. Kita saja yang membatasi diri. Sehingga merasa gak mampu.

Kita sebenarnya mampu untuk berjalan jauh, berlari, bertahan di suhu ekstrem. Bertahan dengan makan sedikit, dll.

Kita mampu! Jika saat ini merasa kita masih belum mampu, berarti ada yang salah dalam diri.

Allah menciptakan tubuh ini dengan begitu sempurna, ada sistem adaptasi yang membuat kita bisa bertahan di medan apa pun.

Kuncinya satu, kita yang memiliki kuasa pada tubuh, mengizinkan untuk mampu gak? Jika tidak mampu kita benar, jika mampu kita juga benar.

***

Alhamdulillah, sesungguhnya Allah menciptakan hingga merencanakan sesuatu tidak ada yang sia-sia. Semua penuh dengan hikmah. Sebagaimana saya berkesempatan belajar di SSG 35 DT. Tinggal sekarang memaksimalkan kesempatan yang ada.

Semoga saya, santri SSG 35 lainnya, serta pembaca, selalu mampu melihat sesuatu dari sudut pandang lain. Mampu untuk mengambil hikmah ditiap kejadian. Serta istiqomah di jalanNya.

Aamiin.

Baca juga:

Sandi Iswahyudi

Senang menulis sisi positif kehidupan dan berbagi catatan digital marketing. Memiliki usaha salah satunya jual Alquran grosir

2 pemikiran pada “Seri #5: “Pergulatan yang Indah” Hikmah Pekan Ke-2 SSG 35 DT, Bandung”

Tinggalkan komentar

Open chat
Halo

Ada yang bisa dibantu?