Sudut yang Kupotret, Terima Kasih Reuni 212

Sandi Iswahyudi

reuni-212-monas-jakarta
Saya dan tiga orang teman kerja

Tak kusangka, aku melihatnya dengan mata kepala sendiri. Di depan mata, dengan kedua telinga terbuka lebar, dan sanubari siap merekam tiap momen.

Inilah sudut pandang yang bisa kulihat dan kujelaskan di Reuni 212, Monas, Jakarta.

Sabtu Sebelum hari H

Dengan wajah polos berbalut sarung, kedua anak itu menembus perjalanan antar kota untuk ikuti komando ulama

Malam itu, aku berjalan menyusuri waktu dari Bandung-Bogor (Megamendung, Puncak), menggunakan transportasi umum.

Menempuh jalan yang penuh oleh kendaraan umum dan pribadi. Tak ada yang aneh, maklum Bandung-Puncak di hari libur, padat oleh para penikmatnya.

Malam harinya saat naik mobil elf arah Cianjur-Megamendung, aku temukan momen yang luar biasa. Menampar bagi mereka yang sadar dan peka. “Plak, plak, plak,” tamparan keras pada diri.

Dua anak dengan wajah polos dengan sarungnya, duduk dikursi tengah tepat di belakang sopir. Saat mobil memasuki Puncak, salah seorang bapak bertanya, “Mau ke mana?”

Salah seorang anak menjawab singkat, “Ke Monas.”

“212 ya?” Celetuk bapak lainnya. Anak itu pun menjawab dengan menganggukkan kepala.

Aku yang duduk dipaling belakang, langsung bergetar hati paling dalam. Dinding yang mengeras, perlahan-lahan luruh.

Dalam hati berucap, “Saya dahulu waktu masih SMP/SMA tak berani keluar dari tempat lahir di Kota Batu. Sedangkan mereka? Masih kecil dengan wajah polos memakai sarung sudah berani berangkat malam dari Cianjur-Jakarta. Terus bagaimana dengan saya? Sudah beristri, masak hanya duduk diam dan jadi penonton dibalik layar handphone?”

Semoga kita semua selalu mendapatkan bimbingan dan hidayah dariNya, serta diberikan karunia mati dalam keadaan khusnul khatimah. Aamiin.

Perjalanan dini hari

Saya jalan dengan teman-teman kantor dari Puncak Bogor, pukul 3 dini hari. Jiwa yang telah membuncah, tak nyenyak tidur dibenda berbentuk persegi panjang yang empuk.

Sejatinya walaupun raga terlelap, jiwa itu sudah terbayang hadir di Monas dengan para saudara Muslimin lain di seluruh Indonesia serta para ulama.

Dingin Puncak tak menyurutkan langkah kami. Kami memakai jaket untuk menghangatkan tubuh dan tak lupa mengucap niat agar perjalanan panjang hari ini tak sia-sia begitu saja.

Subuh 2 kloter

Luar biasa baru kali ini melihat subuh 2 kloter

Kayaknya saya saja deh yang terlalu mendramatisir, atau mungkin karena saya yang jarang melihat pemandangan ini? Hem…

Jadi kemarin kami berhenti di rest area untuk melaksanakan salat, terus mendapati pemandangan yang tak biasa.

Mushola berkapasitas lebih dari 20 orang, ternyata penuh tidak mampu menampung dengan jamaah yang dominan berbaju putih. Alhasil sebagian yang lain termasuk kami, mengantre dengan tertib.

Walau saya tidak tanya dari mana/mau ke mana, tapi sudah tertebak sih jika mereka akan menuju Monas.

Masyaa Allah, lihat saja indah, apalagi berada di dalamnya. Percampuran satu dengan yang lain, tak saling kenal, beda status dll, tapi tetap dalam satu barisan serta satu komando.

Pagi yang sudah ramai

Orang-orang long march, ada yang naik motor, mobil, ada juga bus-bus terhenti disudut jalan.

Jalanan masih lenggang sih, saat memasuki Jakarta. Tapi ketika mendekat ke Monas, sudut-sudut jalananan sudah banyak terlihat bus-bus kosong terhenti.

“Wih… ramai nih, parkir di mana ya?” Pikir saya.

Kami pun parkir di daerah Oasis Amir Hotel. Kudapati warga laki-laki dan wanita berjalanan beriringan menuju Monas. Wajah cerah, bahagia dengan senyum lebarnya menyapu jalanan Jakarta.

Ibu dan sang anak serta ragam pernak-perniknya

Di depan mata, kulihat sendiri, bagaimana ibu berbalut jilbab lebar dan panjang, membawa tas sedang menggandeng sang anak menuju Monas.

Bagaimana pendapatmu ketika berada di kondisi ini? Rute yang akan dilewati cukup jauh dengan kondisi Jakarta yang panas, pakaian seperti itu dengan membawa beban pula?

Apakah kamu akan sanggup?

Disudut lain juga, kamu bisa temukan, orangtua yang sudah sepuh tetap hadir. Bahkan mereka yang maaf, memiliki keterbatasan fisik datang juga.

Allahu Akbar.

Jelas, semua ini tidak digerakkan oleh orang, melainkan hati. Lisannya lewat para ulama, kehendak dari Allah.

Panas desak-desakan, sabar ya

Penuh, banyak orang.

Saat saya dan tiga orang teman ingin mendekat ke arah sumber suara (panggung). Kami menembus aliran orang yang panjang dan banyak.

Kami harus tetap bersabar dan mencari celah dengan fokus pada tujuan. Sehingga rintangan-rintangan kecil tak kami hiraukan.

Ketika harus berdesakan sebab jalanan sudah penuh orang. Kami sabar, yang lain ternyata juga sama, antre dengan tidak keluarkan kata-kata kotor.

Walau panas dengan keringat yang bercucuran, itu tak jadi alasan untuk menzalimi yang lain. Sungguh pemandangan memesona untuk dilihat dan dinikmati, kan?

Bagaimana yang nyinyir dan sebar HOAX?

Hehe… sebelum acara berlangsung dan sesudahnya cukup banyak yang nyinyir serta tebar HOAX.

Bagaimana dong? Senyumin saja, doakan dan biarkan.

Kata Babe Haikal, banyak yang panik? Tahukan kamu siapa saja yang panik?

Intinya kita saat ini dan seterusnya, jangan sampai tidak ikuti komando ulama yang lurus ya! Karena sudah zaman fitnah. Sudah waktunya untuk memilih.

Memilih teman, lingkungan, hingga guru. Pilihan itu berdampak pada kehidupan dunia dan akhirat seseorang.

Semoga Allah selalu jaga dan bimbing kita semua, agar selalu lurus di jalanNya. Aamiin.

Baca juga:

Sandi Iswahyudi

Senang menulis sisi positif kehidupan dan berbagi catatan digital marketing. Memiliki usaha salah satunya jual Alquran grosir

2 pemikiran pada “Sudut yang Kupotret, Terima Kasih Reuni 212”

  1. Semoga kita selalu diberikan petunjuk dari Allah, zaman sekarang kalau tidak selektif dan tidak mengikuti arahan ulama mau bagaimana lagi. Ngeri. Biarlah yang membolak balikkan fakta di balik 212, alhamdulillah saya merasakan damai saat berkumpul di sana

    Balas

Tinggalkan komentar

Open chat
Halo

Ada yang bisa dibantu?