Perjalanan mengajarkan ketidakmampuan diri mengubah sesuatu bila Sang Maha Kuasa tak izinkan.
Perjalanan mengajarkan tentang segala yang dipunya, tak akan bermanfaat apa-apa, bila Sang Maha Pemberi menghentikan kasih dan sayangnya.
Perjalanan mengajarkan tentang kefakiran dan kehinaan diri.
Betapa tidak, sehebat apa pun kita, bila Allah tak izinkan kita untuk naik kereta api pukul 8.10 WIB, pasti tak berangkat.
Walaupun kita sudah berangkat dari pagi, dan memperkirakan secara kaca mata manusia gak akan terlambat.
Namun jika Allah tak berkehendak, jelas, kita tak akan berangkat.
Lemah banget ya kita?
Laa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adzhim (Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung).
Bila mungkin ada pada diri Anda yang tak sependapat dengan saya, itu tak masalah.
Tapi memang begitulah adanya kita.
BACA JUGA: Seri #2: Beberapa Hikmah dari Pertemuan Pertama SSG 35 DT, Bandung
Manusia tak punya kuasa. Bahkan untuk mengatur ritme bernapas pun, kita tak kuasa?
Saat tidur, kita tak bisa kendalikan diri. Tapi masih bisa bernapas, dan jantung berdetak, kitakah yang mengatur semua itu?
Jelas, tidak!
Saat tidur, apakah kita yang mengatur ritme otak, tangan, kaki, dan mata?
Jelas, TIDAK!
Hem.. banyak hal yang menujukkan lemahnya kita.
Kesombongan muncul ketika kenikmatan berada di dalam diri tanpa bertafakkur atasnya.
Padahal, jika mau melakukan perjalanan, manusia akan sadar betapa lemahnya dirinya.
Terus apa yang mau dibanggakan?
Terus kenapa kita tak mau bersandar padaNya?
Padahal jelas, kita ini lemah, lemah, dan lemah.
Ilmu tak setinggi ulama, para sahabat atau bahkan Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Harta juga tak sebanyak Nabi Sulaiman ‘alaihi salam.
Tubuh tak segagah dan seganteng Nabi Yusuf ‘alaihi salam.
Kecantikan juga tak secantik Maryam, ibunda Nabi Isa ‘alaihi salam.
Terus apa yang mau dibanggakan?
Mereka di atas yang memiliki karunia luar biasa dari Allah, taat dan patuh pada Yang Maha Besar.
Apalagi kita yang tak dapatkan nikmat tak seberapa dibanding contoh di atas.
Iyakan?
Pelatihan SSG 35 DT
Dua kali menghadiri pelatihan SSG (Santri Siap Guna) Daarut Tauhiid. Menyadarkan diri, bahwa manusia itu lemah dan hina.
Sudah sewajarnya, manusia patuh dan tundur pada Allah Yang Maha Agung.
Bila tak bersandar padaNya, jelaslah diri akan terjun ke lembah nista dan bertempat ke tempat terburuk yang abadi (neraka).
BACA JUGA: Untuk yang Pertama Kali Masuk Zona Karya: Teruslah Berkarya, Jangan Berhenti!
Naudzubillah min dzalik. Semoga kita terjaga dari semua ini, dan selalu diberi hidayah olehNya.
Shalat, sedekah, menuntut ilmu, dan ragam ibadah lainnya, berkat kasih sayang Allah.
Sadarkah akan ini?
Daun yang gugur Allah tahu. Dia yang ngatur. Apalagi kita manusia sebagai ciptaanNya yang sempurna. Iyakan?
Konklusi
Semakin melakukan perjalanan diri akan sadar akan lemah dan hinanya diri. Semakin sadar hanya kepadaNya, kenikmatan itu akan didapat. Semakin sadar, bila kita pasti akan kembali padaNya.
PERTANYAANNYA sekarang, kita memilih tempat kembali yang mulia atau hina?
Semua bergantung pada kita. Sebab Allah telah memberi kita pilihan, mau jadi ahli kebaikan atau ahli maksiat? Mau dapatkan kesenangan abadi (surga) atau kesedihan tiada tara (neraka)?
Semua kembali pada diri masing-masing. Tak heran jika Allah mengingatkan kita berkali-kali di QS. Ar-Rahman.
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Sekali lagi perjalanan mengajarkan akan makna Laa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adzhim (Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung).
Ditulis dalam perjalanan dengan kereta api Surabaya-Bandung. Diselesaikan di bus patas Surabaya-Malang.